Konsepsi dan Penilaian

Mengeluarkan pendapat, mengemukakan teori, menyimpulkan sesuatu menjadi hal yang benar (kebenaran) atau menjadi hal yang salah (kekeliruan) adalah pekerjaan pikiran, dan pikiran diatur oleh logika.
Logika mengatur gerak pikiran saat sedang berpikir dengan mengendalikan kemungkinan benar dan kemungkinan salah
Sekarang bicara kemungkinan benar dan kemungkinan salah, berarti kita harus urut kebelakang terlebih dahulu bagaimana cara kemungkinan-kemungkinan itu timbul.
Kita bisa saja mengatakan kemungkinan perkara yang seperti ini adalah betul atau perkara seperti itu yang betul. Atau sebaliknya, kita bisa saja bercerita bahwa hal yang seperti itu adalah salah atau hal yang seperti ini yang salah dst.
Semua pendapat yang kita coba kemukakan itu bermula dari pengamatan atau pemahaman kita terhadap sesuatu yang kemudian menjadi pengetahuan kita tentangnya, yaitu sesuatu yang kita PEROLEH, sesuatu yang KITA RASAKAN, sesuatu yang kita CAPAI, sesuatu yang kita SADARI melalui pancaindra, akal dan batin kita.
Setelah kita memperoleh pemahaman (konsepsi) tentang apa-apa yang kita dapat dari pengamatan itu, apakah kemudian pengamatan kita itu bisa serta merta menjadi kebenaran? Atau sebaliknya, suatu kekeliruan?
Tentu saja tidak, untuk menetapkan nilai dari apa yang kita amati kita harus mengujinya terlebih dahulu dengan alat uji yang bernama ‘penilaian( asensi/tashdiq) .
Disini kita berhenti sebentar, kita lihat lagi bahwa ternyata untuk menentukan sesuatu itu mempunyai ‘nilai’ benar (kebenaran) atau salah (kekeliruan) kita butuh tahapan- tahapan. Inilah topik kita sekarang
Tahapannya apa saja?
Tahapan pertama adalah melihat bagaimana sesuatu itu bisa ada dalam pikiran seseorang, misalnya ada mak lampir, ada kuda terbang , ada malaikat, ada nyai loro kidul, ada hawa dingin, ada keong emas, ada api, ada kerbau, ada kerupuk, ada peyek ada laptop dan seterusnya…
Sekilas contoh keberadaan benda-benda tersebut tidak ada bedanya, semua contoh itu sering kita lihat dan dengar. Tapi apakah yang kita lihat dan dengar itu semuanya sudah betul?
Tentang api, kerbau, kerupuk, peyek, dan laptop sudah jelas benar adanya dan bisa dilihat dan disaksikan oleh siapa saja dan dimana saja. Tapi mengenai yang lainnya seperti mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas dan keong emas? Siapa dan dimana orang pernah menemukan dan menyaksikannya?
Disini kita akan mulai bertanya-tanya, iya ada mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas TAPI itu kan hanya di sinetron dan film…, betul ada keong emas, tapi keong toh tetap keong…dan kita tidak pernah bisa mengambil emas dari keong itu. Betul ada hawa panas, tapi yang manakah bendanya?
Disinilah tempatnya kita masuk ketahapan kedua dari pembicaraan mengenai nilai benar (kebenaran) atau nilai salah (kekeliruan) yang ada didalam pikiran, yaitu ada dalam pikiran yang keberadaannya ‘ada’ dengan sendirinya secara otomatis (ekstemporal) DAN ada juga  yang keberadaannya ‘ada’ melalui proses pengamatan dan penelitian (kontemplatif)
Kebenaran itu bisa muncul dengan sendirinya didalam pikiran tanpa proses pengamatan dan penelitian, kebenaran seperti ini biasanya terhubung dengan apa-apa yang bersangkutan dengan panca Indra. Misalnya kebenaran tentang adanya mobil, adanya handphone, adanya kucing, adanya tanah, adanya singkong, adanya air, adanya komputer dst. Benda-benda ini ada dipikiran secara otomatis  begitu panca indra kita bersentuhan dengannya.
Untuk menguji tingkat otomatis ini, kita bisa perhatikan bayi atau balita…, mereka (balita) itu tidak pernah diajarkan bertanya, tapi faktanya hampir semua balita sering bertanya, tentang nama-nama benda sekitarnya. Darimana munculnya ilmu bertanya sibalita? Tentu saja itu muncul dengan sendirinya begitu alat pancaindranya mulai berfungsi terhadap alam materi.
Sebaliknya dengan benda benda yang imaterial, seperti mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas dst, benda-benda imateri ini ada dan keberadaannya ada ketika dilakukan imajinasi dan penilaian (asensi) oleh akal terhadapnya. Tapi apakah benda-benda itu benar ada (kebenaran) atau tidak pernah ada (kekeliruan)?
Disini kita masuk ketahapan yang ketiga. Yakni pemahaman (konsepsi) dan penilaian (asensi ) terhadap suatu perkara akal. Apa-apa yang kita pahami melalui pancaindra dan akal tidak selalu  akan menghasilan pilihan BETUL (kebenaran) , atau sebaliknya SALAH (kekeliruan) secara serta merta. Diperlukan suatu hukum untuk menentukan nilainya.
Misalnya, kuda terbang, hawa panas, perbuatan baik, perbuatan buruk. Adalah contoh bagaimana akal memberikan hukum tehadap dua hal, yakni kuda dan terbang, hawa dan panas. Terlihat direkaman pemikiran ada benda bernama kuda…., sekarang disambung dengan terbang?
Darimana rekaman yang didapat tentang terbang? Pastilah sudah terekam secara otomatis di pikiran ketika pancaindra melihat burung atau sejenisnya yang bisa terbang. Kemudian dengan melalui proses imaginasi, muncullah benda baru yang bernama kuda terbang. Cara kerja pikiran yang merakit-rakit dan menyambung-nyambung seperti inilah yang kita sebut dengan proses pemahaman (konsepsi) terhadap nilai dari suatu perkara.
Sekarang bagaimana dan apa yang disebut penilaian?
Gambaran pikiran atau ‘IDE’ mengenai ‘KUDA’ ditambah sayap menjadi ‘TERBANG’  adalah sebuah konsepsi. Dan yang disebut sebuah Penilaian adalah ketika ‘pikiran menghukumi’  bahwa KUDA itu TERBANG, atau itu kuda terbang maka pikiran telah memberikan kesimpulan atau PENILAIAN bahwa ‘ADA’ kuda terbang.
Contah lain, hawa ditambah panas adalah ‘ide’ yang tergambar didalam pikiran, tapi jika pikiran menghukumi nilai ide itu menjadi ‘hawa itu panas’ maka pikiran telah memberikan kesimpulan atau PENILAIAN terhadap hawa DAN panas menjadi suatu NILAI, yaitu ‘ADA’ hawa panas.

Related Posts


  • asensi

  • bayangan didalam pikiran

  • konsepsi

  • Konsepsi dan penilaian

  • LOGIKA

  • pemahaman

  • penilaian

  • tasdiq

  • konsepsi adalah

  • arti konsepsi

  • konsepsi

  • Pengetahuan

    ‘Ilmu’ dan ‘Pengetahuan’ adalah 2 hal yang mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Ilmu dalam bahasa inggrisnya adalah “science” dan Pengetahuan adalah “knowledge”
    Sehingga JELASLAH bagi kita sekarang untuk membedakannya :) , Pengetahuan adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah tidak tahu menjadi tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara.
    Lha? Maksudnya apa niy?
    Maksudnya, mari kita lihat contoh
    Misalnya, Ahong pergi memancing….
    Disitu Ahong TAHU persis pelampung kailnya selalu terapung. Ahong akan membantah kalau ada yang mengatakan pelampung kailnya tenggelam. Yang demikian namanya ‘pengetahuan’ bagi Ahong. Bagi Ahong sudah tidak ada keraguan lagi tentang mengapungnya palampung kail, walaupun dia dipengaruhi oleh gurunya yang mengatakan pelampung kail tenggelam, Ahong tetap akan bersikukuh untuk mengatakan terapung.
    Jika setelah mendengar perkataan gurunya, Ahong kemudian terpengaruh atau ragu tentang pelampung kailnya, maka sesungguhnya Ahong tidak lah tahu sama sekali tentang pelampung, Ahong tidak memeiliki ‘Pengetahuan’ tentang pelampung.
    Apakah yang dimaksud dengan ilmu?
    Kalau kita ambil contoh diatas, misalnya sekarang Ahong mengetahui pelampungnya bisa mengapung karena berat jenis (BJ) pelampung lebih kecil dari berat jenis (BJ) air, sehingga menyebabkan pelampung menjadi mengapung, maka ini lah yang disebut ‘ilmu’ bagi Ahong.
    Jadi perdefinisi bisa kita lihat, ‘Pengetahuan CUKUP puas dengan hanya menepis keraguan terhadap satu perkara’
    Sedangkan ilmu tidak berhenti hanya pada pengetahuan saja, tetapi mampu menangkap asal-usul pengetahuan itu sendiri. Rangkaian cerita, mulai dari pelampung yang mengapung, sampai dengan bagaimana terjadinya pelampung mengapung, dan bagaimana cara kerja berat jenis (BJ) inilah yang disebut dengan ‘ilmu’
    Dalam pengetahuan modern, ilmu dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok a posteriori (pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen/pengalaman indrawi) dan kelompok a priori (pengetahuan yang TIDAK diperoleh dari percobaan/eksperimen) TAPI bersumber dari akal itu sendiri.

    Related Posts


  • arti pengetahuan



  • ilmu dan pengetahuan



  • ilmu pengetahuan



  • pengetahuan



  • pengetahuan dan ilmu






  • pengetahuan



  • pengertian ilmu pengetahuan



  • ARTI ILMU PENGETAHUAN



  • artikel ilmu pengetahuan



  • contoh pengetahuan



  • pengetahuan dan ilmu pengetahuan



  • contoh ilmu pengetahuan



  • defenisi ilmu pengetahuan



  • pengertian ilmu dan pengetahuan



  • perbedaan pengetahuan dan ilmu pengetahuan



  • contoh pengetahuan filsafat



  • defenisi pengetahuan dan ilmu pengetahuan



  • pengetahuan dan ilmu



  • DEFENISI PENGETAHUAN



  • pengertian ilmu pengetahuan adalah



  • ilmu pengetahuan dan pengetahuan



  • contoh dari pengetahuan



  • pengetahuam agama



  • pengertian pengetahuan ilmu



  • Ilmu Sains Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan



  • Filsafat Islam dalam Bingkai Sejarah

    Filsafat Islam dewasa ini menjadi domain wacana dan tema diskusi yang kuat di kalangan pemikir (pemerhati filsafat) di Timur maupun di Barat. Setidaknya hal ini terjadi pada abad ke-19 hingga kini.
    Sebut saja orang-orang seperti Adam Mez, Henry Corbin, Goldziher, Hitti, HAR. Gibb, atau Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Joel Kraemer, dan belakangan Oliver Leaman serta beberapa ahli filsafat muslim yang ada di Eropa lainnya ikut mengkaji filsafat Islam secara intens.
    Adapun sebelumnya, wacana filsafat Islam seringkali tidak terjamah bahkan mungkin hampir ditiadakan baik itu di kalangan pemikir Barat, maupun dalam sebagian tradisi Islam sendiri. 
    Filsafat Islam dipandang sebagai sebuah objek yang asing dan serangkaian ilmu import yang harus dilawan dan diperlakukan sebagai anak yatim oleh para sarjana Barat terutama para sejarawan kuno.
    Referensi yang selama ini dirujuk oleh para sarjana Barat ketika menghubungkan antara Kebangkitan (Renaissance) di Eropa adalah tradisi keilmuan Yunani yang dikenal dengan zaman logos. Hal ini sangat kuat diyakini terutama dalam cara pandang tentang kehidupan yang dilandasi oleh pemikiran filosofis Yunani. Selalu saja rujukan awal yang dicari adalah para pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
    Memang hal ini bukanlah sebuah kesalahan fatal. Namun ketika hal tersebut tidak pernah dikaitkan dengan kejayaan yang pernah diraih oleh Islam –dan kita tahu bahwa Islam sangat banyak menyumbangkan pemikiran dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sejarah, dan beberapa bidang lainnya–, ada keterputusan-sejarah yang pada akhirnya menyebabkan kerancuan-ilmiah dalam memandang filsafat secara umum terutama dalam filsafat Barat pasca Renaissance. Karena pada dasarnya ada kotinuitas-historis yang tidak bisa kita abaikan.
    Ketika Islam mengalami kejayaan peradaban pada abad ke-9 hingga abad ke-11, dunia Islam sendiri mengakui adanya andil besar gelombang helenisme yang lebih awal dalam mengais kemajuan peradaban. Dalam hal terakhir ini, pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles, dan beberapa tokoh lain, coba ditafsirkan oleh para filosof muslim awal seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
    Hasan Hanafi mencoba mendongkrak asumsi-asumsi salah yang dilancarkan para pengkaji filsafat Islam, baik dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan orientalis. Menurut Hanafi, selama ini mereka menduga bahwa para filosof muslim hanya melakukan pembacaan terhadap filsafat Yunani, kemudian mengikuti, melakukan anotasi, dan meringkas karya para filsuf Yunani, serta mencampuradukkannya dengan filsafat Islam, dengan memperburuk pemahaman tentang konsep-konsep filosofis.
    Namun saya kira, tradisi Yunani pun tidak bisa lepas dari perkembangan tradisi filsafat Timur-Dekat sebagai pendahulunya. Secara genuin, Joel L. Kraemer menjelaskan bahwa filosof-filosof Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, umpamanya, dikatakan telah belajar kepada Luqman “sang filosof” (Luqman al-Hakim) di Syro-Palestina pada masa Nabi Daud; atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaiman di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir. Kemudian para filosof semacam ini membawa tradisifilosofis” yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut.
    Ada khazanah yang cukup berharga dari temuan-temuan pada filsafat Islam yang selama ini tidak diakui oleh filosof dan pemerhati filsafat di Barat. Padahal Islam sendiri memiliki tradisi keilmuan yang begitu kokoh, terutama pada abad pertengahan. Atau mungkin sebenarnya mereka banyak mengambil khazanah pemikiran filsafat Islam, namun mereka enggan untuk mengakui keberadaannya secara ontologis dalam rentetan sejarah peradaban dunia.

    Related Posts